PPLH IPB Selenggarakan Seminar Integrasi Transisi Energi dengan Konservasi Ekosistem Daratan
Dalam rangka mendukung upaya implementasi Nationally Determined Contributions (NDC) sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim, berbagai negara di dunia berkomitmen untuk mengembangkan energi berkelanjutan. Di sisi lain, produksi energi terbarukan memberikan risiko tinggi terhadap kerusakan ekosistem daratan dan penurunan keanekaragaman hayati. Untuk membahas hal tersebut, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) IPB University bekerja sama dengan Environment Institute Indonesia (ENVIRO) dan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Integrasi Transisi Energi dengan Konservasi Ekosistem Daratan”. Acara ini dilaksanakan pada Selasa, 10 Oktober 2023 di Ruang Auditorium Fakultas Kedokteran IPB University secara hibrida.
Dalam acara tersebut, hadir berbagai narasumber dari berbagai instansi baik secara luring maupun daring seperti Prof. Haruni Krisnawati (Staf Ahli Menteri LHK Bidang Energi), Prof. Jatna Supriatna (Universitas Indonesia), Dr. Nyoto Santoso (Dept. KSHE Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University), Dr. Mahawan Karuniasa (Universitas Indonesia/ CEO ENVIRO), Dr. Ucok W. R. Siagian (ITB), dan Hadi Susilo (PLTA Batang Toru). Turut hadir Kepala PPLH IPB University Dr. Yudi Setiawan, S.P., M.Env.Sc sebagai moderator dalam acara tersebut.
Membuka diskusi Dr. Yudi Setiawan, menekankan bahwa pendekatan konservasi dalam transisi energi adalah suatu keniscayaan, beralih dari energi berbasis fossil fuel menuju energi bersih untuk pembangunan berkelanjutan. “Tentunya, target transisi energi ini, dengan tetap menjaga konservasi ekosistem, khususnya konservasi ekosistem daratan”, tambahnya.
Mewakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Prof. Haruni Krisnawati menyampaikan mengenai arah kebijakan sektor lingkungan hidup dan kehutanan untuk mendukung transisi energi. Menurut Prof. Haruni, kondisi saat ini mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batubara (87,21 persen), kedua berasal dari gas (15,96 persen), dari bahan bakar minyak sebanyak 2,73 persen, dan bauran energi baru terbarukan baru mencapai 14,11 persen. “Ke depan target penggunaan energi baru terbarukan (EBT) paling sedikit 23 persen pada 2025 dan paling sedikit 31 persen pada 2050”, pungkasnya.
Melanjutkan apa yang disampaikan oleh Prof. Haruni, Dr. Ucok W.R. Siagian menyampaikan bahwa target diversifikasi energi yang mengarah kepada pengurangan peran bahan bakar dari fossil fuel tidak hanya menyasar sektor kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, tetapi kedepan juga sektor industri diharapkan perlahan akan menerapkan penggunaan energi ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Menyambung hal tersebut Dr. Mahawan Karuniasa menyebutkan bahwa kondisi pemanasan global dan anomali cuaca pada saat ini merupakan dampak penggunaan bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Dr. Mahawan menyampaikan bahwa perubahan persepsi masyarakat yang positif terhadap penggunaan sektor energi yang ramah lingkungan diperlukan karena hal ini akan mendukung integrasi implementasi NDC sektor energi dan konservasi ekosistem daratan.
Dr. Nyoto Santoso menekankan bahwa perlunya upaya dukungan pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pemanenan sumber energi baru dan terbarukan terhadap keberadaan masyarakat untuk membantu menjaga keberlanjutan sumber daya energi. Sebagai contoh, konservasi sumber daya hutan diperlukan untuk menjaga hutan tetap hijau, juga memerlukan dukungan masyarakat. “Karena jika hutan tersebut terjaga maka sumber air dari hulu sebagai sumber energi bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) akan tetap berkelanjutan”, paparnya.
Hal ini dibenarkan oleh Hadi Susilo selaku perwakilan dari manajemen PLTA Batang Toru, menurutnya keunggulan daya listrik dari Sumber Daya Air (SDA), yaitu memanfaatkan potensi tinggi jatuh debit air untuk membangkitkan daya listrik, menghasilkan energi listrik tanpa mengurangi kuantitas air sehingga menghasilkan energi ramah lingkungan tanpa menimbulkan pencemaran. “Energi tenaga air mendorong potensi konservasi air tanah, juga mendorong penghijauan untuk membangkitkan tambang air”, terangnya.
Prof. Jatna Supriatna, selaku pakar konservasi biodiversitas, menekankan perlunya kehati- hatian dalam mengelola potensi sumber energi baru terbarukan yang bersinggungan dengan kawasan konservasi, mengingat bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. “Kita hanya kalah dari Brazil, untuk ekosistem daratan. Sedang untuk ekosistem laut kita lebih tinggi”, ujar Prof. Jatna.
Berbagai materi dipaparkan secara komprehensif pada seminar ini seperti perspektif pemangku kepentingan tentang dialektika energi terbarukan dan konservasi ekosistem daratan, konservasi keanekaragaman hayati di wilayah terdampak sumber energi terbarukan, peran serta masyarakat dalam mendukung energi terbarukan dan konservasi kehati, integrasi implementasi NDC sektor energi dan konservasi ekosistem hutan, potensi dan dampak sumber energi terbarukan di Indonesia, serta pembangunan pembangkit listrik tenaga air. Sebagai kesimpulan, perlu adanya penyelarasan antara kebijakan dan konservasi keanekaragaman hayati dalam transisi energi untuk mengurangi risiko kerusakan terhadap ekosistem daratan. Valuasi ekonomi juga menjadi hal penting untuk dilakukan agar ekosistem daratan dapat memiliki nilai penting dalam upaya transisi energi.
Kegiatan seminar ini dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Masyarakat Agromaritim IPB University, Prof. Ernan Rustiadi. Acara ini mendapat antusiasme lebih dari 50 peserta luring dan 100 peserta secara daring dari berbagai kalangan baik dari civitas akademika, dan birokrasi pemerintahan menggunakan platform Zoom Meeting. [yd/my]