Kolaborasi dengan UI dan ITB, IPB University Diseminasi Hasil Riset Kualitas Air di DKI Jakarta
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Riset Internasional, Lingkungan dan Perubahan Iklim (PPLH LRI LPI IPB University) melakukan diseminasi hasil pemantauan kualitas air DKI Jakarta tahun 2025 (25/11). Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama DLH Provinsi DKI Jakarta dengan Lemtek Universitas Indonesia (UI), Direktorat Pengabdian Masyarakat dan Layanan Kepakaran (DPMK) Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Lembaga Riset Internasional, Lingkungan dan Perubahan Iklim (LRI LPI) Institut Pertanian Bogor (IPB University) dalam hal ini diwakili oleh PPLH IPB University. Diseminasi yang diselenggarakan di Oakwood Hotel, Jakarta Timur ini dihadiri oleh sejumlah Narasumber yang berasal dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum (Direktorat Air Tanah dan Air Baku dan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC)), Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
Dalam sesi pembukaan, Koordinator Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta, Dr. Firdaus Ali menyampaikan bahwa kunci utama dalam kebijakan pengelolaan kualitas air adalah kolaborasi. Mengingat, aliran air dari sungai yang masuk ke wilayah DKI Jakarta merupakan sebuah sistem yang bersifat lintas wilayah dan lintas bidang maka diperlukan kolaborasi. Selain itu, juga diperlukan kolaborasi antara SKPD terkait. “Kata kuncinya, kolaborasi, itu penting, antar SKPD juga perlu kolaborasi”, ungkap Dr Firdaus.
Lebih lanjut, DKI Jakarta kedepan akan menghadapi tantangan berupa potensi land subsidence yang tinggi yaitu mencapai 2 hingga 15 sentimeter per tahun. Hal ini dikarenakan antara kegiatan pengambilan air tanah dalam akuifer tidak diimbangi dengan proses mengisi kembali air ke dalam akuifer. Hal ini diikuti dengan potensi kenaikan muka air air laut yang mencapai 10 sentimeter per tahun. “Artinya tantangan kedepan tidak mudah”, ujarnya.
Wakil Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Dudi Gardesi Asikin, menyampaikan bahwa saat ini kualitas air sungai, situ waduk, dan termasuk air tanah didominasi oleh keadaan cemar berat. Untuk air sungai dan situ/waduk beberapa parameter yang tidak memenuhi kualitas air diantaranya seperti Fenol, Total Fosfat, Total Nitrogen, kebutuhan oksigen secara proses biologis dalam air (BOD), Bakteri Koli dan Bakteri Koli Tinja. Kondisi ini disebabkan oleh utamanya air limbah grey water (air buangan domestik yang tidak mengandung tinja atau urin, tetapi berasal dari bak mandi, pancuran, wastafel kamar mandi, dan mesin cuci) yang belum terkelola dengan baik. Hal ini diikuti dengan perilaku membuang limbah sembarangan oleh masyarakat dan sistem pengelolaan limbah oleh UMKM dan pemukiman yang belum terkelola dengan baik.
Dudi Gardesi Asikin melanjutkan, bahwa temuan para peneliti dari perguruan tinggi dan seksi pemantauan kualitas lingkungan DLH DKI Jakarta ini diharapkan akan memberikan masukan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup.”Harapan kami diseminasi dapat dijadikan pemantik semangat untuk terus mengelola kualitas air, hasil diskusi ini juga diharapkan akan menjadi dasar pengambilan kebijakan agar tepat sasaran”, tambahnya.
Dalam sesi pemaparan diseminasi, Dr. Liyantono selaku Sekretaris Eksekutif PPLH IPB University mencoba membagi sungai-sungai di DKI Jakarta menjadi 6 (enam) Cluster untuk memudahkan menentukan prioritas pengelolaan, pembagian ini dilakukan berdasarkan tipologi (karakteristik) dan level pencemaran dari ruas sungai. Karakteristik sungai dicirikan dari lebar, kedalaman, kelokan, dan kecepatan arus dari ruas sungai yang diamati. Tipologi ini kemudian dikaitkan dengan nilai Indeks Pencemaran (IP) dari ruas sungai yang diukur pada titik tertentu. “Sebagai contoh, korelasi yang ditemukan di ruas Kali Cideng dominan ditemukan cemar berat. Hal ini sesuai dengan kondisi air yang memiliki aliran lambat dan input air hanya mengandalkan dari saluran grey water dari warga”, rinci Dr. Liyantono.
Hal lain yang ditemukan, menurut Dr. Liyantono, perilaku masyarakat terhadap pengelolaan limbah domestik dan sanitasi relatif sama. Dimana, permasalahan pencemaran lebih dipengaruhi oleh perilaku dan kesadaran masyarakat. Selanjutnya, keberadaan septic tank yang tidak memenuhi standar membuat terjadinya potensi rembesan septic tank menuju resapan air tanah yang berpotensi mencemari. Temuan ini juga sejalan dengan diseminasi monitoring kualitas air tanah oleh tim dari Lemtek UI. Dimana, ditemukan bakteri koli tinja dalam air tanah warga. Dimana, seharusnya keberadaan bakteri koli ini tidak boleh ada sama sekali dalam air tanah sesuai aturan dari Permenkes Nomor 2 Tahun 2023. “Hal yang unik, berdasarkan temuan dari tim, saluran grey water terkadang bercampur dengan saluran Buang Air kecil (BAK)”, jelasnya menambahkan.
Selain itu, kebiasaan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) ditemukan dalam pemantauan kualitas air situ/waduk di DKI Jakarta. Menurut Dr. Zaenal Abidin dari IPB University, sebagai contoh, di Waduk Rawa Kepa banyak ditemukan saluran grey water dan black water yang langsung masuk ke dalam badan air situ/waduk melalui saluran perpipaan rumah tangga. Hal ini meningkatkan potensi meningkatnya bakteri koli dan bakteri koli tinja dalam badan air yang berbahaya bagi kesehatan manusia. “Upaya penyediaan septic tank komunal dan sistem pengelolaan limbah harus dibuat secara luas untuk memenuhi kualitas lingkungan yang lebih baik”, jelas Dr. Zaenal Abidin [HA].