PPLH IPB University dan GIZ Jerman Meneliti Incorporate the HCVF Approach into the Environmental Permit Process
Pengembangan perkebunan kelapa sawit telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber utama deforestasi di Indonesia. Identifikasi, pemantauan, dan pengelolaan lahan berhutan di kawasan yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit sangat penting untuk memutuskan kondisi deforestasi dari perkebunan kelapa sawit. Sejak pertengahan 1990-an, sejumlah kelompok pemerhati lingkungan dan ilmuwan memprakarsai konsep hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF).
Sementara beberapa peraturan memperluas definisi kawasan konservasi di luar hutan konservasi dan kawasan hutan negara, dasar hukum untuk melestarikan kawasan HCVF dan koridor satwa liar yang teridentifikasi adalah suatu tantangan. Menurut undang-undang tata ruang (UU 26/2007) dan peraturan turunannya, kawasan lindung di kawasan yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit—di luar kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan negara—dibatasi pada kawasan sempadan sungai dan kawasan rawan bencana. Artinya, beberapa kawasan HCVF dan koridor satwa yang tidak memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan tata ruang tidak terlindungi dengan baik. Cakupan kedua peraturan Ditjen Konservasi ini hanya untuk identifikasi kawasan, bukan untuk perlindungan atau pengelolaan.
Salah satu solusi yang memungkinkan untuk memperkuat landasan hukum dalam melestarikan HCVF dan kawasan koridor satwa liar adalah dengan memasukkan dua peraturan Ditjen Konservasi ke dalam proses perencanaan tata ruang dan proses perizinan lingkungan. Dengan demikian, identifikasi, pemantauan dan pengelolaan kawasan HCVF dan koridor satwa akan menjadi bagian penuh dari proses formal dalam sistem perizinan lingkungan.
Dalam kasus Kalimantan Timur, ada beberapa inisiatif untuk mengidentifikasi kawasan HCVF di seluruh wilayah yurisdiksi di Kalimantan Timur. Inisiatif tersebut menghasilkan peta indikatif kawasan HCVF. Kondisi terbaru adalah studi yang dilakukan oleh Universitas Mulawarman pada tahun 2017. Inisiatif lainnya adalah Deklarasi Perkebunan Berkelanjutan. Itu ditandatangani pada September 2017 oleh gubernur dan bupati di provinsi tersebut untuk menghemat 650.000 ha lahan hutan di area yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit. Beberapa diskusi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten terpilih menunjukkan kesepakatan berupa gagasan untuk memasukkan pendekatan HCVF ke dalam proses perizinan lingkungan. Namun, pedoman dari tingkat nasional tentang bagaimana mewujudkannya perlu dikaji lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan saran serta memfasilitasi lembaga nasional utama dalam merumuskan pedoman nasional untuk memasukkan pendekatan HCVF ke dalam proses perizinan lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan atas kerjasama PPLH IPB dengan Kerjasama Teknik Indonesia-Jerman (GIZ / The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit). Dari penelitian ini dihasilkan sejumlah keluaran berupa konsep dan modul pelatihan terkait integrasi pendekatan HCVF ke dalam perizinan lingkungan untuk perkebunan kelapa sawit.
Kajian ini melibatkan para peneliti berikut: Dr. Tjahjo Tri Hartono, Rais Sonaji, S.P., M.Si, Atep Hermawan, S.Pi, Cecep Saepulloh, S.Hut. Penanggungjawab penelitian adalah Prof. Hefni Effendi (Kepala PPLH IPB University).
SDGs yang tercakup dalam penelitian ini adalah:
2: 2.4.By 2030, ensure sustainable food production systems and implement resilient agricultural practices that increase productivity and production, that help maintain ecosystems, that strengthen capacity for adaptation to climate change, extreme weather, drought, flooding and other disasters and that progressively improve land and soil quality
12:12.2. By 2030, achieve the sustainable management and efficient use of natural resources
15: 15.5. Take urgent and significant action to reduce the degradation of natural habitats, halt the loss of biodiversity and, by 2020, protect and prevent the extinction of threatened species